Senin, 29 Mei 2017

MORALITAS BANTUAN





      Tempramen dan Karakter
a.      Tempramen
Dalam bukunnya Diane E Papalia, dkk. menyatakan bahwasannya tempramen berfungsi sebagai penentu karakteristik seseorang, cara biologis untuk mendekati dan bereaksi terhadap orang dan situasi.[6]
Jadi bahwasanya karakter seseorang itu tidak semuanya bersifat negatif,  bahwasannya temprament itu dilakukan sesuai situasi. Tergantung seperti apa stituasi atau kondisi yang pada saat itu dialaminya.
Namun, pada dasarnya tempramen manusia itu sendiri memiliki dimensi emosional yang berbeda dengan emosi seperti rasa takut, tertarik, dan bosan, tempramen relatif konsisten dan menetap pada diri manusia. Temperamen manusia terbagi menjadi 4 jenis, yaitu:[7]
a)      Sanguinis
Ditandai dengan sifat: hangat, meluap-luap, lincah, bersemangat dan pribadi yang “menyenangkan.” Pada dasarnya mau menerima. Pengaruh/kejadian luar dengan gampang masuk ke pikiran dan perasaan, yang membangkitkan respons yang meledak-ledak. Perasaan lebih berperan dari pada pikiran refleksif dalam membentuk keputusan. Orang sanguinis sangat ramah kepada orang lain, sehingga dia biasanya dianggap seorang yang sangat ekstrovert.
b)     Koleris
Seorang choleris tampil hangat, serba cepat, aktif, praktis, berkemauan keras, sanggup mencukupi keperluannya sendiri, dan sangat independen. Dia cenderung tegas dan berpendirian keras, dengan gampang dapat membuat keputusan bagi dirinya dan bagi orang lain. Seperti seorang sanguinis, seorang Koleris adalah seorang ekstrovert, walau tidak seekstrovertnya seorang sanguinis. Seorang choleris hidup dengan aktif. Dia tidak butuh digerakkan dari luar, malah mempengaruhi lingkungannya dengan gagasan-gagasannya, rencana, tujuan, dan ambisiambisinya yang tak pernah surut.
c)      Melankolis
Si melankolis adalah seorang yang paling “kaya” di antara semua temperamen. Dia seorang analisis, suka berkorban, bertipe perfeksionis dengan sifat emosi yang sangat sensitif. Tidak seorang pun yang dapat menikmati keindahan karya seni melebihi seorang melankolis. Sebenarnya dia mudah menjadi introvert, tetapi ketika perasaannya lebih dominan, dia masuk ke dalam bermacam-macam keadaan jiwa. Kadang-kadang mengangkatnya pada kegembiraan yang tinggi yang membuatnya bertindak lebih ekstrovert. Akan tetapi pada saat lain dia akan murung dan depressi, dan selama periode ini dia menarik diri (withdrawn), dan bisa menjadi seorang yang begitu antagonistis (bersifat bermusuhan).
d)     Phlegmatis
Si phlegmatis adalah seorang yang hidupnya tenang, gampangan, tak pernah merasa terganggu dengan suatu titik didih yang sedemikian tinggi sehingga dia hampir tak pernah marah. Dia adalah seorang dengan tipe yang mudah bergaul, dan paling menyenangkan di antara semua temperamen. Phlegmatis berkaitan dengan apa yang dipikirkan oleh Hippocrates mengenai cairan dalam badan yang menghasilkan yang “tenang,” “dingin”, “pelan”, temperamen yang memiliki keseimbangan yang baik.
Baginya hidup adalah suatu kegembiraan, dan kadang menjauh dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Dia begitu tenang dan agak diam, sehingga tak pernah kelihatan terhasut, bagaimana pun keadaan sekitarnya.
b.      Karakter
Selanjutnya mengenai karakteristik, Muchlas Samani dalam bukunya menjelaskan bahwa karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.[8]
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, prasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika.
Karena karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan manusia sehari-hari, baik dalam bersikap maupun dalam bertindak.
Konselor tidak dapat semaunya menentukan karakter kliennya itu harus seperti apa, namun konselor harus mampu memahami berbagai karakter kliennya sebagai selayaknya manusia biasa yang memang tidak luput dari dosa dan kekhilafan. Konselor yang baik adalah konselor yang mampu menerima dan melayani kliennya dengan baik, menjunjung tinggi toleransi, tentunya dengan tetap menjaga kode etik konseling yang telah ditetapkan.

     Keyakinan Agama dalam Struktur Kepribadian
Dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani. Kedua dimensi yang dimiliki manusia mendapatkan perhatian yang sama. Segi jasmani memiliki tuntutan-tuntutan sendiri yang perlu dipenuhi. Demikian halnya dengan dimensi rohani juga memiliki tuntutan tersendiri yang juga harus dipenuhi agar manusia dapat hidup dengan baik dan selamat di dunia dan akhiratnya.[9]
Hal tersebut menunjukan bahwasannya kepribadian seseorang membutuhkan suatu keyakinan dalam beragama. Oleh sebab itu, seorang konselor mengarahkan kliennya yang sedang mengalami masalah agar mereka kembali pada sang penciptanya, agar mereka tidak terjerumus pada hal yang tidak diinginkan. Namun konselor perlu menyadari bahwasannya peranannya tidak sama dengan petugas keagamaan yang berkewajiban memberikan keyakinan dan nilai-nilai keagamaannya kepada pihak lain dan sekaligus mempengaruhinya. Karena itu seorang konselor tidak mudah untuk memanfaatkan berinteraksi dengan klien.
Sigmuned Freud merumukan sistem kepribadian menjadi tiga sistem. Ketiga sistem itu dinamainya id, ego, dan super ego.[10]
1.      Id (Das Es)
Sebagai suatu sistem id mempunyai fungsi menunaikan prinsip kehidupan asli manusia berupa penyaluaran dorongan naluriah. Dengan kata lain id mengemban prinsip kesenangan (Pleasure principle), yang tujuannya untuk membebaskan manusia dari ketegangan dorongan naluri dasar: makan, minum, seks, dan sebagainya.
2.      Ego (Das Es)
Ego merupakan sistem yang berfungsi menyalurkan dorongan id ke keadaan yang nyata. Freud menanamkan misi yang diemban oleh ego sebagai prinsip kenyataan (objective/reality principe).
Segala bentuk dorongan naluri dasar yang bersal dari id hanya dapat direalisasikan dalam bentuk nyata melalui bantuan ego.ego juga megandung prinsip kesadaran.
3.      Super Ego (Das Uber Ich)
Sebagai suatu sistem yang memiliki unsur molar dan keadilan, maka sebagian besar super ego mewakili alam ideal. Tujuan super ego adalah membawa individu kearah kesempurnaan sesuai dengan pertimbangan keadilan dan moral. Ia merupakan kode modal seseorang dan berfungsi pula sebagai pengawas tindakan yang dilakukan oleh ego. Jika tindakan itu sesuai dengan pertimbangan moral da keadilan, maka ego mendapat ganjaran berupa rasa puas atau senang. Sebaliknya jika betrentangan, maka ego menerima hukuman berupa rasa gelisah dan cemas. Super ego mempunyai dua anak sistem, yaitu ego ieal dan hati nurani.
Dalam diri orang yang memiliki jiwa yang sehat ketiga sistem itu bekerja dalam suatu susunan yang harminis. Segala bentuk tujuan dan segala gerak-geriknya selalu memenuhi keperluan dan keinginan manusia yang pokok. Sebaliknya, kalau ketiga sistem itu bekerja secara bertentangan satu sama lainnya, maka orang tersebut dinamai sebagai orang yang tak dapat menyesuakan diri. Ia menjadi tidak puas dengan diri dan lingkungannya. Dengan kata lain efisiensi orang tersebut menjadi berkurang atau tidak sama sekali.


[1] Panut Panuju dan Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. hal. 139.
[2] Maurice B. Mitchell (ed.), Encylopedia of Britania, Vol. VIII, Chicago: William Benton Publisher, 1968, hal. 752.
[3] Suseno, Frans Magnis. 1987. Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hal. 58.
[4] Latipun. 2003. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga), Malang: UMM Press, hlm, 158-160.
[5] Latipun. 2003. Psikologi Konseling (Edisi Ketiga), Malang: UMM Press, hlm, 158-160.
[6] Diane E Papalia dkk. 2008. Human Development. Kencana: Jakarta, hal. 268.
[7] Diane E Papalia dkk. 2008. Human Development. Kencana: Jakarta, hal. 268-269.
[8] Samani, Muchlas. Pendidikan Karakter. 2013.  PT. Remaja Rosdakarya : Bandung, hal. 41.
[9] Prawira, Purwa Atmaja. 2013. Psikologi Kepribadian, Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, hal. 327.
[10] Jalaluddin, Psikologi Agama. 2015. Rajawali Pers : Jakarta, hal. 183-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar dengan sewajarnya..

Pekerjaan Sosial

Pengertian Pekerjaan sosial merupakan sebuah profesi yang dilakukan dengan memberikan bantuan pelayanan terhadap individu, kelom...