Fitriana dalam bukunya menulis 10
ciri-ciri pidato yang baik untuk menjadi public
speaker, hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pidato yang saklik, pidato
yang jelas, pidato yang hidup, pidato yang memiliki tujuan, pidato yang
memiliki klimaks, pidato yang memiliki pengulangan, pidato yang berisi hal-hal
yang mengejutkan, pidato yang dibatasi, pidato yang mengandung humor, dan pidato
yang singkat. Dari ke-10 ciri-ciri tersebut penulis hanya akan menguraikan tiga
ciri-ciri saja, diantaranya adalah sebagai berikut;
1.
Pidato yang Saklik
Pidato itu saklik
apabila memiliki objektivitas dan unsur-unsur yang mengandung kebenaran. Saklik
juga berarti bahwa ada hubungan yang serasi antara isi pidato dan formulasinya,
sehingga indah kedengarannya, tetapi bukan berarti dihiasi dengan gaya bahasa
yang berlebih-lebihan. Akhirnya saklik juga berarti ada hubungan yang jelas
antara pembeberan masalah dengan fakta dan pendapat atau penilaian pribadi.[1]
2.
Pidato yang Jelas
Pembicara harus
pandai memilih ungkapan dan susunan kalimat yang tepat dan jelas untuk
menghindarkan salah pengertian. Intinya, komtor harus paham masalah yang
dibicarakan.[2] Ini berarti bahwa
kata-kata yang dipilih tidak boleh menimbulkan arti ganda (ambigues), tetap
dapat mengungkapkan gagasan secara cermat. Untuk mencapai kejelasan seperti
itu, hal-hal berikut harus diperhatikan:
a. Gunakan istilah yang spesifik (tertentu)
Ada kata-kata yang terlalu umum artinya sehingga
mengundang tafsiran bermacam-macam. Ada pula kata-kata yang artinya sudah
tertentu. “Ia mengajar saya bahasa Inggris” lebih spesifik daripada “Ia
mendidik saya”. Pernyataan “Uang ini dapat diambil secara teratur”, lebih baik
diganti dengan “Uang ini dapat diambil sekali sebulan”. Tetapi “Sekali sebulan”
lebih tepat lagi diganti dengan “setiap tanggal 1 tiap bulan”. Pengadilan
sering direpotkan oleh bunyi Undang-Undang yang tidak jelas, begitu pula
pendengar sering salah paham karena kata-kata yang tidak jelas pula.
b. Gunakan kata-kata yang sederhana
Berpidato adalah berkomunikasi dan bukan “unjuk gigi”.
Karena nilai komunikasinya, kata-kata yang diucapkan harus dapat dipahami
dengan cepat. “Konsep-konsep kaum politisi yang sarat dengan fantasi dan
delusi” adalah kalimat yang sulit dicerna. “Gagasan-gagasan politisi yang
dipenuhi khayalan dan impian” barangkali lebih sederhana. Daniel Dhakidae
pernah mengutip contoh bahasa pers kampus yang tidak sederhana.
“Ia tertatih-tatih dalam debur tuntutan peran dan
realita pahit yang harus disandang”.
“Kalau kita melihat permasalahan tersebut adalah
masalah yang urgen maka perbincangan tentang solidaritas pers mahasiswa menjadi
‘solid’ konsep dasar solidaritas pers mahasiswa harus ditetapkan”.
c. Hindari istilah-istilah teknis
Ciri dunia modern adalah berkembangnya spesialisasi
yang mempertinggi kemampuan, tetapi juga mengkotak-kotak manusia dalam dunianya
sendiri. Masing-masing mengembangkan kata-kata yang dipahami oleh mereka
sendiri. bila seorang ahli ilmu jiwa berkata, “Katharsis digunakan dalam usaha
terapi dan bukan untuk diagnosis”, maka publisis dapat pula berceloteh tentang,
“Komunikasi yang tidak setala, karena adanya perbedaan kerangka acuan dan medan
pengalaman”. Untuk khalayak yang sama, pernyataan-pernyataan di atas tidak
menjadi persoalan. Untuk orang lain, ini membingungkan.
d. Berhemat dalam penggunaan kata-kata
Sering kali kalimat yang panjang menjadi jelas setelah
kata-kata yang berlebih-lebihan dibuang. “Adalah suatu keharusan bagi seorang
guru untuk menaruh perhatian yang tinggi kepada siswanya”. Kalimat ini menjadi
jelas setelah diganti seperti ini. “Guru harus memperhatikan sekali
siswa-siswanya”. Termasuk penghematan kata adalah menghindari gejala keracunan
(kontaminasi). Kalimat “Bagi seluruh mahasiswa baru diharuskan mendaftar lagi”
tidak berubah arti bila kata “bagi” dibuang.
e. Gunakan perulangan atau pernyataan kembali gagasan
yang sama dengan kata yang berbeda
Dalam komunikasi lisan, gagasan utama hanya dapat
diketahui dari perulangan. Yang berikut ini adalah contoh perulangan,
“Kemalasan saudara menjengkelkan dosen, mendongkolkan orang tua, dan
mengecewakan pimpinan saudara”.[3]
3.
Pidato yang Hidup
Untuk menghidupkan pidato
bisa menggunakan gambar, cerita pendek atau kejadian-kejadian yang relevan dengan
permasalahan yang dibicarakan sehingga memancing perhatian pendengar.[4]
Kumpulkan cerita-cerita
motivasi, seperti kisah orang yang sukses di bidang tertentu, kisah rakyat yang
inspiratif, atau metafora yang sengaja anda ciptakan untuk menyampaikan maksud
anda secara tidak langsung. cerita ini bisa anda gunakan untuk menambah “bumbu”
dan menciptakan gambar di benak audiensi. Cerita selalu lebih menarik untuk
didengar daripada serentetan kata-kata. Anda bisa mendapatkan kisah-kisah itu
di buku The Secret to Be More Success dan Financial Revolution in Action.[5]
[1] Dori Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi,
Berargumentasi, Bernegosiasi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 51
[2] Fitriana Utami Dewi, Public Speaking Kunci Sukses Bicara di Depan
Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 153-154
[3] Jalaludin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 47-49
[4] Fitriana Utami Dewi, Public Speaking Kunci Sukses Bicara di Depan
Publik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 154
[5] Ongky Hojanto, Public Speaking Mastery (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012),
hlm.28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan komentar dengan sewajarnya..